Kamis, 20 November 2008



LCD Text Generator at TextSpace.net






Paul Gilbert bersama koleksi gitar kesayangan. JAKARTA – Paul Gilbert bukan sosok yang asing. Paling tidak bagi para penggemar musik rock di Indonesia. Gitaris yang lahir 6 November 1966 di Carbondale, Illinois, Amerika, ternyata cukup mendapat tempat di sini. Buktinya, kita takkan susah bila cari informasi soal Paul Gilbert. Coba saja ketik kata kunci nama Paul Gilbert di edisi Indonesia mesin pencari google. Maka, akan muncul berderet-deret situs yang menyebut namanya.

Tapi, maaf kali ini takkan dibahas soal musikalitas si gitaris ulung itu namun kegilaan para penggemarnya di negeri ini. Ridwan Saipul Nugraha terkekeh-kekeh. Pemuda berusia 29 tahun ini terang saja geli bila mengingat pertemuannya dengan sang idola. Pada 2002, Paul Gilbert datang ke Indonesia untuk memberikan klinik gitar kepada publik. ”Kebetulan aku kenal sama orang Ibanez. Sebagai wartawan aku minta wawancara khusus sebelum manggung.”
Saat wawancara, Ridwan menanyakan beragam hal. Dari soal musik sampai menyerempet kesibukan dia dalam bersolo karier. Dalam sesi ini dia juga menyempatkan diri berfoto-foto-ria. ”Saking asyiknya, aku lupa ada titipan teman untuk minta tanda-tangan. Aku sendiri juga butuh. Waduh, gimana ya?” kenang Ridwan.
Begitu klinik usai, si gitaris sudah tak bisa ditemui. Maklum, kecapekan habis manggung. Ridwan panik. Ia hanya bisa merutuk dirinya sendiri. Bukan apa-apa, kesempatan emas itu seolah terbuang percuma. Poster yang ada di genggaman tangan belum lagi mendapat tanda tangan sang idola. Tentu rasanya belum sahih sebagai kolektor.
Dasar jodoh. Ridwan yang sudah setengah putus asa seperti ketiban bulan. ”Habis acara klinik itu, aku liputan fashion ke hotel Borobudur (Jakarta). Pas baru mau masuk, eh tiba-tiba ada mobil berhenti di dekat pintu masuk,” lanjut Ridwan. Coba tebak siapa yang keluar dari mobil itu? Tentu saja, Paul Gilbert!
[Photo]Ridwan girang bukan kepalang. Langsung saja, dia menyapa sang idola. Asyiknya, Paul tak lupa perjumpaan sebelumnya. Dengan ramah, Paul menghadiahi sejumlah tanda-tangan bagi Ridwan. Ada yang dibubuhkan di poster, cakram padat album solo dan album Mr. Big (grup musik yang sempat diperkuat Paul Gilbert). ”Wah, dia itu memang ramah. Aku pikir nggak bakal dapat tanda-tangan dia,” gelak Ridwan.
Ridwan mulai menyukai Paul Gilbert sejak masih duduk di bangku sekolah. Kira-kira sekitar tahun 1990-an. Mula-mula dia mengoleksi kaset. Karena kualitasnya gampang rusak, Ridwan segera beralih ke cakram padat. Dan sejak itu perburuan pun makin serius. ”Tapi kebanyakan aku beli lewat internet. Ada juga yang hasil barter dengan teman,” ujarnya.
Teknologi dunia maya ternyata amat membantu Ridwan dalam perburuan koleksi. Bukan cuma cakram padat tetapi juga tablature (buku musik yang berisi partitur karya solo Paul Gilbert), termasuk majalah musik yang memuat profil Paul. Lalu barang seperti itu didapat di mana ya? ”Di Jepang. Mereka pun jual DVD Guitar From Mars Classical dan Guitar From Mars Rock harganya 7.600 Yen, di luar ongkos kirim. Kemaren bareng temen order, mereka kirim gak sampai 10 hari barangnya dah nyampe,” jelas Ridwan.
Di negeri sakura itu, juga ada empat album solo PG tersedia di sana seperti Kings Of Club, Selections From Flying Dog, Alligator Farm dan Burning Organ. Harganya berkisar 2.800 – 3.000 Yen, di luar ongkos kirim. ”Order biasanya akan sampai dalam 2 minggu setelah pemesanan,” kata Ridwan. Kalau mau coba, silakan kunjungi situs: www.hav.co.jp dan www.shinko-music.co.jp.
Selain itu, wartawan salah satu stasiun televisi swasta ini juga punya buku tablature lain. Namanya, Paul Gilbert’s Guitar Cook Book yang satu set dengan cakram padat ukuran 7 inci. ”Isinya pelajaran musik gitar ala Paul Gilbert.”
Di dunia maya, Ridwan bukan cuma bertransaksi. Ia juga melakukan barter dengan sesama kolektor. Yang menarik, dia tak pernah bertatap muka dengan para kolektor tersebut. ”Gimana mau kopi darat, lah wong mereka tinggalnya ada yang di Eropa, Australia dan Amerika,” kekeh Ridwan.
Pernah suatu kali, Ridwan memburu single solo pertama Paul Gilbert: ”Girls who can Read Your Mind”. Katanya, sudah tiga tahun dia memburu barang langka ini. Tahun 2003, dia menemukan penjual di situs Amazon.com. ”Yang jual nawarin 19 dolar AS. Aku setuju, lantas aku minta bantuan temenku yang ada di California (AS).” Sesama kolektor tolong-menolong adalah hal yang lumrah. Begitu barang didapat Ridwan pun gembira. Dan makin bertambah setelah temannya itu tak mau dibayari uang talangan untuk membeli single itu. ”Kata dia, ini hadiah buat aku. Walah, senang banget. Sudah dapat barang langka eh, nggak tahunya malah gratis.”
Ridwan juga sempat tertipu. Kejadiannya sekitar April tahun lalu. ”Aku sudah kirim ke temen-ku di Australia, sekitar Rp. 400 ribu. Eh, dia bilang duit itu nggak nyampe.” Padahal, Ridwan sudah mengecek di sini dan uang itu sudah terkirim.
Dalam satu bulan, Ridwan mengaku membelanjakan sekitar Rp 300 ribu untuk memburu koleksi Paul Gilbert. Rekor paling besar, sekitar satu juta rupiah. ”Wah, kalo nggak di-rem bisa jebol juga kantong ini,” tutur Ridwan sambil mesem-mesem.
Untuk di negeri sendiri Ridwan menyodorkan nama: Jathie dan Kodrat. Keduanya dikenal sebagai dua – dua sobat yang sama-sama gemar mengoleksi beragam barang koleksi soal Paul Gilbert. ”Wah, Kodrat koleksinya lebih banyak lagi dari aku,” kata Ridwan.
Di Makassar, Sulawesi Selatan ada Sofyan yang juga tergila-gila dengan gitaris yang sekarang tergabung dengan band Racer X ini. Sama seperti rekan-rekan dari Jakarta itu, Sofyan juga mengoleksi tablature Paul Gilbert. Kebetulan dia ikut milis gitaris.com. Jadi ketika mau cari dia minta saran Ridwan. Lagi-lagi, sesama kolektor mereka pun saling berbagi. Lewat asas kepercayaan, informasi itu mengalir seperti air: luber ke mana-mana. Dan barang koleksi terus diburu sampai ketemu.



KEMBALI KE BLOG

2 komentar:

TINGGALKAN PESAN